Cari Blog Ini

Selasa, 20 Desember 2011

Pragmatisme, instrimentalisme dan eksperimentalisme

BAB I
A.  Pendahuluan
Filsafat pragmatisme muncul bersamaan dengan munculnya tokoh di Amerika yang lahir pada tahun 1842, yaitu William James. Tokoh lain dalam faham ini adalah John Dewey dan F.C.S. Schiller.
William James berusia sekitar 68 tahun (1842-1910). James adalah guru besar di Universitas Harvard dari tahun 1881 sampai tahun 1907. Ia menentang teori filsafat materialisme tentang alam. Ia juga telah memaparkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam metode metafisika. Selain itu, dirinya juga menolak teori dialektika. Namun disisi lain, ia menegaskan dukungannya terhadap doktrin irrasionalisme dan menguatkan analisanya tentang akal yang dinilainya sebagi aliran-aliran kesadaran. James banyak terpengaruh oleh C.S. Pierce. Hasil karyanya yang terkenal adalah “Pragmatisme” (1907).Toko ini juga berjasa dalam bidang lain, terutama dalam bidang psikologi. Hasil karyanya yang lain adalah bukunya yang berjudul “The Meaning of Truth”.
Tokoh yang sejalan pemikirannya dengan William James adalah John Dewey yang hidup antara tahun 1859 – 1952. Tokoh asal Amerika ini memiliki pengaruh yang sangat luas di bidang kajian ilmiah. Problematika nilai merupakan konsentrasi utama kajiannya. Puncak kajiannya adalah revolusi di bidang pendidikan. Berbagai program pendidikan yang dinilai Dewey sebagai kriteria pendidikan yang maju dan progressif adalah kesimpulan alami dari keseluruhan filsafatnya. Dewey banyak terpengaruh oleh pemikiran C.S.Pierce.
Pragmatisme (dari bahasa Yunani: pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan) merupakan sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James (1842 – 1910) di Amerika Serikat. Menurut filsafat ini, benar tidaknya suatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Istilah pragmaticisme ini diangkat pada tahun 1865 oleh Charles S. Pierce (1839-1914) sebagai doktrin pragmatisme. Doktrin dimaksud selanjutnya diumumkan pada tahun 1978.
Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey (1859 – 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat politik, dan pendidikan. Tulisan ini sendiri selanjutnya akan mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme pendidikan.
B.     Kehidupan John Dewey
John Dewey merupakan filosof, psikolog, pendidik dan kritikus sosial Amerika. Ia dilahirkan di Burlington, Vermont, tepatnya tanggal 20 Oktober 1859. Pada tahun 1875, Dewey masuk kuliah di University of Vermont dengan spesifikasi bidang filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Setelah tamat, ia mengajar sastra klasik, sains, dan aljabar di sebuah sekolah menengah atas di Oil City, Pensylvania tahun 1879-1881. Bersama gurunya, H.A.P. Torrey, Dewey juga menjadi tutor pribadi di bidang filsafat. Selain itu, Dewey juga belajar logika kepada Charles S. Pierce dan C.S. Hall, salah seorang psikolog eksperimental Amerika. Selanjutnya, Dewey melanjutkan studinya dan meraih gelar doktor dari John Hopkins University tahun 1884 dengan disertasi tentang filsafat Kant.
Dewey kemudian mengajar di University of Michigan (1884-1894), menjadi kepala jurusan filsafat, psikologi dan pendidikan di University of Chicago tahun 1894. Pada tahun 1899, Dewey menulis buku The School and Society, yang memformulasikan metode dan kurikulum sekolah yang membahas tentang pertumbuhan anak. Dewey banyak menulis masalah-masalah sosial dan mengkritik konfrontasi demokrasi Amerika, ikut serta dalam aktifitas organisasi sosial dan membantu mendirikan sekolah baru bagi Social Reseach tahun 1919 di New York.
Sebagian besar kehidupan Dewey dihabiskan dalam dunia pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan yang disinggahi Dewey adalah University of Michigan, University of Colombia dan University of Chicago. Tahun 1894 Dewey memperoleh gelar Professor of Philosophy dari Chicago University. Dewey akhirnya meninggal dunia tanggal 1 Juni 1952 di New York dengan meninggalkan tidak kurang dari 700 artikel dan 42 buku dalam bidang filsafat, pendidikan, seni, sains, politik dan pembaharuan sosial.
Diantara karya-karya Dewey yang dianggap penting adalah Freedom and Cultural, Art and Experience, The Quest of Certainty Human Nature and Conduct (1922), Experience and Nature (1925), dan yang paling fenomenal Democracy and Education (1916).
Gagasan filosofis Dewey yang terutama adalah problem pendidikan yang kongkrit, baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Reputasinya terletak pada sumbangan pemikirannya dalam filsafat pendidikan progresif di Amerika. Pengaruh Dewey di kalangan ahli filsafat pendidikan dan filsafat umumnya tentu sangat besar. Namun demikian, Dewey juga memiliki sumbangan di bidang ekonomi, hukum, antropologi, politik serta ilmu jiwa.


Rumusan masalah
1.     Apa yang di maksud instrumentalisme ?
2.     Apa yang dimaksud eksperimentalisme?
3.     Siapakah  yang mengemukakan instrumentalisme dan eksperimentalisme?
Tujuan :
1.     Agar kita mengetahui dengan instrumetalisme.
2.     Agar kita mengetahui dengan eksperimentalisme.
3.     Agar kita  dapat mengetahui tokoh-tokoh yang mengemukakan instrumentalisme dan eksperimentalisme.



BAB II

Pembahasan Tentang Pragmatisme, instrumentalisme, eksperimentalisme
Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis.
Membicarakan pragmatisme sebagai sebuah paham dalam filsafat, tentu tidak dapat dilepaskan dari nama-nama seperti Charles S. Pierce, William Jamess dan John Dewey. Meskipun ketiga tokoh tersebut dimasukkan dalam kelompok aliran pragmatisme, namun diantara ketiganya memiliki fokus pembahasan yang berbeda. Charles S. Pierce lebih dekat disebut filosof ilmu, sedangkan William James disebut filosof agama dan John Dewey dikelompokkan pada filosof sosial.
Pragmatisme sebagai suatu interpretasi baru terhadap teori kebenaran oleh Pierce digagas sebagai teori arti. Dalam kaitan dengan ini, dinyatakan: According to the pragmatic theory of truth, a proposition is true in so far as it works or satisfies, working or satisfying being described variously by different exponent on the view (Menurut teori pragmatis tentang kebenaran, suatu proposisi dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku [works] atau memuaskan [satisfies], berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para pengamat teori tersebut).
Sementara itu, James menominalisasikan pragmatisme sebagai teori cash value. James kemudian menyatakan: “True ideas are those that we can assimilate, validate, corrobrate, and verify. False ideas are those that we can not” (Ide-ide yang benar menurut James adalah ide-ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya ide yang salah adalah ide yang tidak demikian).
Untuk membedakan dengan dua pendahulunya tersebut, Dewey menamakan pragmatisme sebagai instrumentalisme. Instrumentalisme sebenarnya sebutan lain dari filsafat pragmatisme, selain eksperimentalisme. Pierce memaksudkan pragmatisme untuk membuat pikiran biasa menjadi ilmiah, tetapi James memandangnya sebagai sebuah filsafat yang dapat memecahkan masalah-masalah metafisik dan agama. Bahkan lebih jauh, James menganggapnya sebagai theory of meaning dan theory of truth.
Instrumentalisme John Dewey (pragmatisme) sebenarnya mempunyai akar pada tokoh-tokoh filsuf yang mendahuluinya. Namun karena John Dewey adalah seorang empiris, maka filsuf-filsuf empiris Inggris justru mempunyai pengaruh yang sangta besar terhadap perkembangan pemikiran Dewey sendiri.
Salah seorang tokoh yang berpengaruh pada Dewey adalah Francis Bacon. Sebagai seorang empiris, Bacon menolak ilmu pengetahuan pada masanya yang baginya ilmu pengetahuan itu tidak menyentuh realitas. Karena itu Bacon memaknai ilmu pengetahuan itu secara baru yaitu ilmu pengetahuan yang diabdikan demi kebutuhan praktis manusia. Dalam hal ini, Bacon tidak menolak secara mutlak keberadaan ilmu pengetahuan, namun yang penting baginya adalah bahwa ilmu pengetahuan memiliki makna praktis bagi kehidpan manusia.
Dari sekian banyak filsuf yang turut mendukung kelahiran teori pragmatisme Bacon adalalah salah seorang filsuf yang diakui oleh Dewey. Bagi Dewey, Bacon adalah seorang nabi inspirator pemikiran modern. Hal ini nampak sekali dalam sumbangan pemikiran pragmatismenya. Dua sumbangan pemikiran Bacon yang sangat berpengaruh dalam pemikiran Dewey adalah sebagai berikut: Pertama, dalam sikap, ilmu adalah pekerjaan sosial, karena itu ilmu tidak ditatap secara lepas dari lingkup kebutuhan manusia yang praktis. Kedua, ilmu bukan renungan mendalam seorang individu belaka, akan tetapi lebih merupakan pekerjaan sosial yang didalamnya sekelompok orang turut berpartisipasi dan terikat dalam satu tujan tertentu.
Bagi Dewey, Instrumentalisme adalah berpikir logis bergantung pada tujuan kehidupan praktis. Kehidupan yang dimaksud di sini adalah hubungan dengan situasi yang ada baik alamiah maupun sosial dan kebutuhan praktis ini sekaligus mengarahkan pikiran kita. Karena itu menurut Dewey, berpikir hanyalah muncul jika dibutuhkan situasi. Misalnya: Manusia adalah manusia yang selalu bertindak. Dalam situasi tertentu tindakannya itu bisa terhambat, maka manusia itu kemudian mulai merancang suatu pemikiran demi kebutuhan praktisnya dalam situasi tersebut. Rancangan itu adalah sesuatu yang belum terlaksana. Pemikiran tercipta karena ada stimulus yang merangsangnya.
Menurut Dewey, berpikir adalah mentransformasikan suatu situasi yang kacau – balau, situasi yang tidak menguntungkan, kegelapan, ke situasi yang lebih terang, tenang, dan harmonis. Jadi, pemikiran hanyalah sebuah alat untuk mengatasi suatu masalah atau menangani krisis dalam situasi konkret. Tugas dari pemikiran adalah menemukan alat atau sarana dalam lingkup konkret demi tujuan praktis yang dibutuhkan dalam kehidupan.
Dewey tertarik pada penerapan filsafat atas persoalan-persoalan sosial yang semakin nyata, rumit dan membingungkan yang dihadapi di Amerika pada waktu itu. Berhadapan dengan persoalan-persoalan ini, metode instrumentalisme menjadi efektif untuk digunakan karena metodenya memperlakukan ide-ide untuk menyelesaikan persoalan-persoalan praktis. Penekanan Dewey dalam metode instrumentalismenya adalah pada praktek, yakni pada keterlibatan aktual atau partisipasi aktif dimana kita belajar dengan mengerjakannya (learning by doing).
Oleh karena itu dengan teori yang demikian, ajaran Dewey disebut instrumentalisme yang baginya merupakan teori mengenai bentuk konsepsi penalaran umum yang merupakan kekhasan dalam pemikiran untuk memperkuat konsekuensi selanjutnya. Dewey sendiri mengartikan instrumentalisme sebagai usaha menyusun teori logis mengenai konsep-konsep, keputusan-keputusan dan kesimpulan-kesimpulan dalam penentuan eksperimental bagi kensekuensi-konsekuensi selanjutnya dalam praksis.
Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai to conceive of both knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure in experienced existence. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Disebut demikian karena menurut aliran ini bahwa ide, gagasan, pikiran, dan inteligent merupakan alat atau instrumen untuk mengatasi kesulitan atau persoalan yang dihadapi manusia.
Pemahaman terhadap Dewey menjadi jelas jika menelusuri pandangannya mengenai pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan. John Dewey dianggap seorang empiris karena baginya, pemikiran harus berpijak pada penggalaman (experience), dan bergerak kembali menuju ke pengalaman-pengalaman. Jadi, baginya titik tuju dan titik tolak dari pemikiran adalah pengalaman. Pada mulanya pemikiran bangkit karena adanya pengalaman (contoh; yang menyulitkan) dan pada akhirnya pemikiran membuat pemecahan yang akan mempunyai akibat merubah situasi, yang berarti juga pengalaman itu selanjutnya( yang akan datang).
Konsep kunci filsafat Dewey adalah pengalaman. Filsafat harus berpangkal pada pengalaman-pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif kritis. Karena itu, bagi Dewey seorang filsuf harus peka akan pentingnya pengalaman. Pada awalnya Dewey tertarik pada teori pengalaman yang dikembangkan oleh kaum Hegelian, tetapi kemudian ia mengembangkan suatu teori semacam neo-empirisme. Ada 3 hal pemikiran pokok mengenai pengalaman yang menurut Dewey diabaikan oleh para pemikir idealis, yakni:
  1. Pengabaian terhadap pengalaman bertindak.
  2. Penolakannya terhadap gagasan mengenai suatu hal yang merupakan kesatuan yang menyeluruh.
  3. Anggapannya bahwa kaum Hegelian dan idealis mengenai kodrat alam yang terlalu mengeneralisasikan sehingga menuntun pada proyeksi kosmis yang keliru.
Dengan meninggalkan pemikiran Hegelian ini, Dewey kemudian beranggapan bahwa pengalaman merupakan interaksi suatu organisme dan lingkungan, alam dan masyarakatnya. Menurutnya pengalaman merupakan pertemuan non-reflektif dengan suatu situasi seperti halnya makan donat, menikmati pemandangan, dan bercanda dengan teman.
Pengalaman sangat erat kaitannya dengan proses berpikir. Karena proses berpikir pada akhirnya tertuju pada pengalaman tersebut. Gerak pemikiran manusia dibangkitkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan permasalahan di dunia sekitar kita dan gerak itu berakhir dalam berbagai perubahan. Pengalaman langsung bukanlah soal pengetahuan yang mengandung di dalamnya pemisahan antara subjek dan objek, pemisahan antara pelaku dan sasarannya. Dalam pengalaman keduanya dipersatukan. Kalau terjadi pemisahan antara pelaku dan objek, hal itu bukan merupakan pengalaman, melainkan suatu hasil refleksi atas pengalaman tadi.
Menurut Dewey ada 2 hal yang mempengaruhi lahirnya konsep baru mengenai pengalaman dan relasinya dalam pengalaman dan penalaran. Pertama, perubahan mengenai kodrat pengalaman itu sendiri. Kedua, perkembangan suatu bidang psikologi yang berlandaskan pada biologi. Perkembangan biologi membuat segala sesuatu menjadi berubah. Prinsipnya kalau ada kehidupan pastilah ada tingkah laku dan tindakan. Namun penyesuaian diri itu bukanlah suatu hal yang pasif tetapi aktif, sebab organisme bertindak terhadap lingkungan tersebut dengan memberikan perubahan terhadapnya sesuai dengan usahanya dalam mempertahankan kehidupan dan menghadapi lingkungannya. Dalam hal ini pengalaman merupakan proses timbal balik dan saling mempengaruhi antara makhluk hidup dan lingkungannya dalam rangka menuju ke kehidupan yang lebih baik. Bagi Dewey pengalaman adalah lingkungan yang merangsang organisme untuk memodifikasi lingkungan itu dalam hubungan timbal balik.























BAB III
PEMIKIRAN JOHN DEWEY TENTANG PENDIDIKAN
1.1 Pengalaman dan Pertumbuhan
Pemikiran John Dewey banyak dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin (1809-1882) yang mengajarkan bahwa hidup di dunia ini merupakan suatu proses, dimulai dari tingkatan terendah dan berkembang maju dan meningkat. Hidup tidak statis, melainkan bersifat dinamis. All is in the making, semuanya dalam perkembangan. Pandangan Dewey mencerminkan teori evolusi dan kepercayaannya pada kapasitas manusia dalam kemajuan moral dan lingkungan masyarakat, khusunya malalui pendidikan.
Menurut Dewey, dunia ini penciptaannya belum selesai. Segala sesuatu berubah, tumbuh, berkembang, tidak ada batas, tidak statis, dan tidak ada finalnya. Bahkan, hukum moral pun berubah, berkembang menjadi sempurna. Tidak ada batasan hukum moral dan tidak ada prinsip-prinsip abadi, baik tingkah laku maupun pengetahuan.
Pengalaman (experience) adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman merupakan keseluruhan aktivitas manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Filsafat instrumentalisme Dewey dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan yang merupakan transformasi yang terawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Pandangan Dewey mengenai pendidikan tumbuh bersamaan dengan kerjanya di laboratorium sekolah untuk anak-anak di University of Chicago. Di lembaga ini, Dewey mencoba untuk mengupayakan sekolah sebagai miniatur komunitas yang menggunakan pengalaman-pengalaman sebagai pijakan. Dengan model tersebut, siswa dapat melakukan sesuatu secara bersama-sama dan belajar untuk memantapkan kemampuannya dan keahliannya.
Sebagai tokoh pragmatisme, Dewey memberikan kebenaran berdasarkan manfaatnya dalam kehidupan praktis, baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya, ia berpendapat bahwa tugas filsafat memberikan garis-garis arahan bagi perbuatan. Filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisik yang sama sekali tidak berfaedah. Filsafat harus berpijak pada pengalaman dan menyelidiki serta mengolah pengalaman tersebut secara aktif dan kritis. Dengan cara demikian, filsafat menurut Dewey dapat menyusun norma-norma dan nilai-nilai.
1.2 Tujuan Pendidikan
Dalam menghadapi industrialisasi Eropa dan Amerika, Dewey berpendirian bahwa sistem pendidikan sekolah harus diubah. Sains, menurutnya, tidak mesti diperoleh dari buku-buku, melainkan harus diberikan kepada siswa melalui praktek dan tugas-tugas yang berguna. Belajar harus lebih banyak difokuskan melalui tindakan dari pada melalui buku. Dewey percaya terhadap adanya pembagian yang tepat antara teori dan praktek. Hal ini membuat Dewey demikian lekat dengan atribut learning by doing. Yang dimaksud di sini bukan berarti ia menyeru anti intelektual, tetapi untuk mengambil kelebihan fakta bahwa manusia harus aktif, penuh minat dan siap mengadakan eksplorasi.
Dalam masyarakat industri, sekolah harus merupakan miniatur lokakarya dan miniatur komunitas. Belajar haruslah dititiktekankan pada praktek dan trial and error. Akhirnya, pendidikan harus disusun kembali bukan hanya sebagai persiapan menuju kedewasaan, tetapi pendidikan sebagai kelanjutan pertumbuhan pikiran dan kelanjutan penerang hidup. Sekolah hanya dapat memberikan kita alat pertumbuhan mental, sedangkan pendidikan yang sebenarnya adalah saat kita telah meninggalkan bangku sekolah, dan tidak ada alasan mengapa pendidikan harus berhenti sebelum kematian menjemput.
Tujuan pendidikan adalah efisiensi sosial dengan cara memberikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan demi pemenuhan kepentingan dan kesejahteraan bersama secara bebas dan maksimal. Tata susunan masyarakat yang dapat menampung individu yang memiliki efisiensi di atas adalah sistem demokrasi yang didasarkan atas kebebasan, asas saling menghormati kepentingan bersama, dan asas ini merupakan sarana kontrol sosial. Mengenai konsep demokrasi dalam pendidikan, Dewey berpendapat bahwa dalam proses belajar siswa harus diberikan kebebasan mengeluarkan pendapat. Siswa harus aktif dan tidak hanya menerima pengetahuan yang diberikan oleh guru. Begitu pula, guru harus menciptakan suasana agar siswa senantiasa merasa haus akan pengetahuan.
Karena pendidikan merupakan proses masyarakat dan banyak terdapat macam masyarakat, maka suatu kriteria untuk kritik dan pembangunan pendidikan mengandung cita-cita utama dan istimewa. Masyarakat yang demikian harus memiliki semacam pendidikan yang memberikan interes perorangan kepada individu dalam hubungan kemasyarakatan dan mempunyai pemikiran yang menjamin perubahan-perubahan sosial.
Dasar demokrasi adalah kepercayaan dalam kapasitasnya sebagai manusia. Yakni, kepercayaan dalam kecerdasan manusia dan dalam kekuatan kelompok serta pengalaman bekerja sama. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa semua dapat menumbuhkan dan membangkitkan kemajuan pengetahuan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan dalam kegiatan bersama.
Ide kebebasan dalam demokrasi bukan berarti hak bagi individu untuk berbuat sekehendak hatinya. Dasar demokrasi adalah kebebasan pilihan dalam perbuatan (serta pengalaman) yang sangat penting untuk menghasilkan kemerdekaan inteligent. Bentuk-bentuk kebebasan adalah kebebasan dalam berkepercayaan, mengekspresikan pendapat, dan lain-lain. Kebebasan tersebut harus dijamin, sebab tanpa kebebasan setiap individu tidak dapat berkembang.
Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut.
Di dalam filsafat John Dewey disebutkan adanya experimental continum atau rangkaian kesatuan pengalaman, yaitu proses pendidikan yang semula dari pengalaman menuju ide tentang kebiasaan (habit) dan diri (self) kepada hubungan antara pengetahuan dan kesadaran, dan kembali lagi ke pendidikan sebagai proses sosial. Kesatuan rangkaian pengalaman tersebut memiliki dua aspek penting untuk pendidikan, yaitu hubungan kelanjutan individu dan masyarakat serta hubungan kelanjutanpikiran dan benda.
Kurang lebih ada tiga sumbangan pemikiran Dewey dalam pendidikan:
a. Dewey melahirkan konsep baru tentang kesosialan pendidikan. Disini dijelaskan bahwa pendidikan memiliki fungsi sosial yang dinyatakan oleh Plato dalam bukunya, Republic, dan selanjutnya oleh banyak penulis disebutkan sebagai teori pendidikan yang umum. Tetapi Dewey lebih dari itu, bahwa pendidikan adalah instrumen potensial tidak hanya sekedar untuk konservasi masyarakat, melainkan juga untuk pembaharuannya. Ini ternyata menjadi doktrin yang akhirnya diakui sebagai demokrasi, dimana Dewey memperoleh kredit yang tinggi dalam hal ini. Selanjutnya hubungan yang erat antara pendidikan dan masyarakat; bahwa pendidikan harus terefleksikan dalam menajemennya dan dalam kehidupan di sekolah terefleksi prinsip-prinsip dan gagasan-gagasan yang memotivasi masyarakat. Akhirnya proses pembelajaran adalah lebih tepat disuasanakan sebagai aktivitas sosial, sehingga iklim kerja sama dan timbal balik menggeser suasana kompetensi dan keterasingan dalam memperoleh pengetahuan.
b. Dewey memberikan bentuk baru terhadap konsep keberpusatan pada anak. Dalam hal ini pemikiran Dewey berdasar pada landasan-lndasan filosofis, sehingga lebih kuat jika dibandingkan dengan para pendahulunya. Demikian pula pada sebuah penelitiannya tentang anak menjadi lebih meyakinkan dengan dukungan pendekatan keilmuan dan tidak terkesan sentrimental.
c. Proyek dan problem solving yang mekar dari sentral konsep Dewey tentang pengalaman telah diterima sebagai bagian dalam tekhnik pembelajaran di kelas. Meskipun bukan sebagai pencetus, namun Dewey membangunnya sebagai alat pembelajaran yang lebih sempurna dengan memberi kerangka teoritik dan berbasis eksperimen. Dengan demikian, Deweylah yang telah membawa orang menjadi tetarik untuk menerapkannya dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari di sekolah, termasuk digalakannya kegiatan berlatih menggunakan inteligensi dalam rangka penemuan.
Dengan ketiga penekanan dalam pendidikan tersebut, telah memberikan udara segar terhadap konsep pendidikan sebagai suatu proses sosial terkait erat dengan kehidupan masyarakat secara luas di luar sekolah; dan sebaliknya hal ini juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan kehidupan mesyarakat di sekolah, dan hubungan antara guru dan pengajaran
Dari penjelasan di atas mengenai pendapat Dewey tentang pragmatisme yang dikenal juga dengan istilah instrumentalisme, dapat diberikan kritik terhadap pemikiran Dewey tersebut, yaitu:
1. Instrumemtalisme
Dewey berpendapat bahwa berpikir sebagai alat untuk memecahkan masalah. Dengan demikian maka ia mengesampingkan penelitian ilmu murni yang secara langsung berlaitan dengan kehidupan konkret.Dalam filsafat ilmu, instrumentalisme adalah pandangan bahwa sebuah teori ilmiah merupakan alat yang berguna dalam memahami dunia. Sebuah konsep atau teori harus dievaluasi oleh seberapa efektif menjelaskan dan memprediksi fenomena. Posisi instrumentalis dikemukakan oleh Ernst Mach. Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions berpendapat pemecahan masalah sebagai komponen kunci dari praktek ilmiah, dengan penekanan pada kebenaran atau realitas berkurang, karena ia memberikan contoh tentang bagaimana konsepsi yang luas kita tentang realitas telah berubah.

2. Eksperimentalisme
Kita menguji kebenaran suatu peoposisi dengan melakukan percobaan. Dengan demikan maka tidak ada kebenaran yang pasti dan dapat dijadikan pedoman dalam bertindak. Misalnya: suatu UU terus menurus diuji. Lantas, kapan masyarakat bisa amenjadikan UU itu sebagai pedoman untuk bertindak? Pendek kata dalam hidup bermasyarakat, kita memerlukan kebenaran yang ditetapkan, bukan terus-menerus diuji.
3. Pendidikan
Dewey menawarkan pendidikan formal berdasarkan minat  anak-anak dan pelajaran yang diberikan hendaknyadisesuaikan dengan minat anak-anak. Dengan pandangan yang demikian maka pelajaran yang berlangsung di sekolah tidak difokuskan karena minat setiap anak itu berbeda-beda. Demikian juga dengan pelajaran-pelajarn pokok yang harus diajarkan kepada anak-anak tidak dapat diterapkan dengan baik.
4.      Moral
Penolakan dewey terhadap gagasan adanya final end berdasarkan finalis kodrat manusia dan sebagai gantinya ia menekankan peran ends-in-view, membuat teorinya jatuh pada masalah ”infinite regress” (tidak adanya pandangan yang secara logis memberi pembenaran akhir bagi proses penalaran. Karena adanya final end yang berlaku universal ditolak dan yang ada adalah serangklaian ends-in-view maka pembenaran terhadap ends-in-view tidak pernah dilakukan secara defenitif. Akibatnya tidak ada tolak ukur yang tegas untuk menilai tindakannitu baik atau tidak.











BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis, epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu dilihat dalam rangka konsekuansi praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam hidup manusia. Dan konsekuensi praktis yang berguna dan memuaskan manusia itulah yang membenarkan tindakan tadi.
Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi, melainkan langsung mencari tindakan yang tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah manusia-manusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang dihadapi dengan tindakan yang konkret.
Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak, bukan untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku, yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis. Kebenaran suatu teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak yang muluk-muluk, melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuansi praktisnya, dan pada kegunaan serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.
Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis, pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat, rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat.
Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada, mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan dan keresahan tersebut hilang.
Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada penolakan kaum pragmatis terhadap perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan langsung.
Dalam kaitan dengan dunia pendidikan, kaum pragmatisme menghendaki pembagian yang tetap terhadap persoalan yang bersifat teoritis dan praktis. Pengembangan terhadap yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan normatif, sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang praktis. Pendidikan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak memiliki konsekuansi praktis.


Dalam hal ini kita bisa mngetahui bahwa pragmatisme adalah intrumentalisme yang di temukan oleh tokoh pada waktu itu. Hal ini bisa jadi acuan agar kita tahu bahwa instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran berfungsi dalam penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman-penglaman yang berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Sedangkan eksperimentalis merupakan dua jenis aliran arsitektur yang berjalan beriringan.



DAFTAR PUSTAKA
Bernstein, The Encyclopedia of Philosophy
Hadiwijono, H, Dr, Sari Sejarah Filsafat 2, Kanisius, Yogyakarta, 1980
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta, 2001
Asy-Syarafa, Ismail, Ensiklopedi Filsafat diterjemahkan oleh Shofiyullah Mukhlas, Khalifa, Jakarta, 2002
Twentieth-century thinkers: Studies in the work of Seventeen Modern philosopher, edited by with an introduction byJohn K ryan, alba House, State Island, N.Y, 1964
D. Budiarto, Metode Instrumentalisme – Eksperimentalisme John Dewey, dalam Skripsi, Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta, 1982
A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987
R.C. Salomon dan K.M. Higgins, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, Yogyakarta, 2003
http://seniindonesia.multiply.com/journal/item/7/pendidikan_Indonesia_harus_punya_nilai_pragmatis_John_DeweY
http://stishidayatullah.ac.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=58
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/j-13.html
http://kukuhsilautama.wordpress.com/2011/03/31/filsafat-pendidikan-pragmatisme/
http://en.wikipedia.org/wiki/Instrumentalism
http://dictionary.sensagent.com/instrumentalisme/no-no/